Add caption |
Papua Barat adalah tanah terjajah. Mengatakannya demikian
berkonsekuensi besar mendapat penolakan, sudah pasti dari kalangan
rakyat penjajah apalagi pemerintahnya, tetapi juga dari sesama rakyat
terjajah.
Kenapa rakyat bangsa terjajah tidak serta merta sanggup memahami
penjajahan? Kenapa rasisme menjadi senjata dominasi kebudayaan? Dan
mengapa perlawanan terhadap penjajahan, pertama-tama, dan paling
penting, mengambil bentuk perjuangan kebudayaan?
Perjuangan gerakan kebudayaan Arnold Ap di Papua Barat adalah
fondasi penting yang diketahui hingga saat ini bagi pembentukan
identitas bangsa Papua Barat. Proses itu segera dihancurkan pemerintah
Indonesia, tetapi tidak hancur. Munculnya gerakan muda terorganisir
melanjutkan perjuangan penentuan nasib sendiri Papua Barat dari
Indonesia dalam satu dekade terakhir ini telah membentuk kebudayaan baru
di tanah terjajah Papua Barat. Kebudayaan itu adalah perlawanan terbuka
damai.
Terkesan di permukaan gerakan muda ini adalah gerakan politik
belaka. Tetapi jauh ke dalamnya, padahal, dengan berbagai kesulitan dan
kontradiksi mereka sedang mengkonfrontasi kebudayaan kolonial Indonesia
yang paling penting di tanah terjajah Papua Barat, yakni: budaya anti
konflik dan mentalitas inlander. Komite Nasional Papua Barat (KNPB)
adalah representasi paling luas gerakan pembebasan Papua Barat yang
sedang membangun kebudayaan baru tersebut. Dengan aksi-aksi terbuka yang
berani, mereka hanya sedang mengajarkan satu hal pada sesama bangsa
tertindas Papua, yaitu martabat.Dan terhadap rakyat bangsa penjajah
mereka dengan lantang berpesan: kita beda bangsa.
Saya memilih artikel singkat Amilcar Cabral ini untuk
diterjemahkan karena dengan jernih dia menjelaskan kenapa penghancuran
dan penundukan kebudayaan masyarakat asli adalah hal paling pokok yang
dilakukan kolonialisme. Dan bagaimana perjuangan untuk menemukan dan
membentuk kembali kebudayaan masyarakat terjajah dimulai, pertama-tama,
oleh gerakan politik pembebasan. Baginya perjuangan politik pembebasan
adalah perjuangan kebudayaan itu sendiri, yang didalamnya terdapat
perjumpaan dari berbagai kebudayaan individu dan kelompok-kelompok
sosial. Perjumpaan itu berwujud konflik dan transformasi terus menerus
beragam jenis kebudayaan manusia-manusia yang bersaling silang dalam
proses penyatuan nasional sebagai satu bangsa yang senasib
sepenanggungan: bangsa terjajah.
Amilcar Cabral adalah pejuang pembebasan Guinea Bissau dan Cape
Verde, seorang insinyur pertanian, penulis, dan pemimpin politik
sekaligus pemikir pembebasan nasional. Dia adalah salah satu figur anti
kolonial di Afrika yang paling terkenal.
Semoga menginspirasi, lalu berguna (Kuntsa).
Semoga menginspirasi, lalu berguna (Kuntsa).
Pembebasan Nasional dan Kebudayaan
Amilcar Cabral
Teks ini aslinya disampaikan pada 20 Februari 1970; sebagai bagian
dari Seri Pengajaran Memorial Eduardo Mondlane (1) di Universitas
Syracuse, New York, dibawah pengawasan Program Studi Afrika bagian
Selatan.
Ketika Goebbels, otak dibalik propaganda Nazi, mendengar kebudayaan
sedang didiskusikan, seketika dia keluarkan revolvernya. Demikian Nazi,
wujud imperialisme paling tragis, yang karena rasa hausnya terhadap
dominasisekalipun mereka semua rusak parah seperti Hitlermemahami
betul nilai kebudayaan sebagai suatu faktor perlawanan terhadap dominasi
asing.
Sejarah mengajarkan kita bahwa, dalam situasi tertentu, sangat mudah
bagi orang asing memasok dominasinya kepada seseorang. Namun ia juga
mengajarkan kita bahwa, apapun kemungkinan wujud aspek material dari
dominasi ini, ia hanya dapat dipertahankan oleh represi permanen dan
terorganisir atas kehidupan kebudayaan rakyat yang bersangkutan.
Pencangkokan dominasi asing hanya dapat terjadi oleh penghancuran total
bagian paling signifikan dari populasi yang didominasi.
Sebetulnya, menggunakan sejata untuk mendominasi orang, pertama-tama
mensyaratkan senjata itu diarahkan untuk menghancurkan, setidaknya
menetralisir dan melumpuhkan, kehidupan kebudayaannya. Karena, dengan
kehidupan kebudayaan asli yang kuat, dominasi asing tidak dapat
memastikan kelangsungannya. Diberbagai kesempatan, tergantung
faktor-faktor eksternal dan internal yang menentukan evolusi masyarakat
yang bersangkutan, perlawanan kebudayaan (yang tidak bisa dihancurkan)
mengambil bentuk baru (politik, ekonomi, bersenjata) demi menantang
sepenuh-penuhnya dominasi asing.
Prinsip dominasi asing, baik imperialis maupun bukan, akan memilih:
Kalau tidak melikuidasi (menyingkirkan/menghancurkan) seluruh populasi di negeri yang didominasi, dengan cara menghapus kemungkinan bagi perlawanan kebudayaan; maka mereka memenangkannya dengan cara menyusupkan dirinya, pelan-pelan tanpa merusak, ke dalam kebudayaan orang-orang yang didominasiyakni, mengharmonisasi dominasi politik dan ekonomi orang-orang ini dengan kepribadian budaya orang-orang yang mendominasi.
Kalau tidak melikuidasi (menyingkirkan/menghancurkan) seluruh populasi di negeri yang didominasi, dengan cara menghapus kemungkinan bagi perlawanan kebudayaan; maka mereka memenangkannya dengan cara menyusupkan dirinya, pelan-pelan tanpa merusak, ke dalam kebudayaan orang-orang yang didominasiyakni, mengharmonisasi dominasi politik dan ekonomi orang-orang ini dengan kepribadian budaya orang-orang yang mendominasi.
Hipotesis pertama mensyaratkan genosida populasi masyarakat asli dan
menciptakan suatu ruang hampa yang mengosongkan dominasi asing dari
isinya dan objeknya: yakni orang-orang yang didominasi. Hipotesis kedua
(yakni harmonisasi) hingga saat ini belum dibuktikan oleh sejarah.
Pengalaman luas manusia membuat kita bisa menduga bahwa hipotesis ini
tidak memmiliki kemungkinan praktis: tidak lah mungkin mengharmonisasi
dominasi ekonomi dan politik atas masyarakat, seberapapun derajat
perkembangan sosialnya, dengan pelestarian kepribadian budayanya.
Demi menghindar dari pilihan-pilihan iniyang mungkin disebut sebagai
dilema perlawanan kebudayaandominasi kolonial imperialis mencoba
menciptakan teori yang, malah, hanya merupakan formulasi menjijikkan
dari rasisme, dan yang pada praktiknya, diterjemahkan ke dalam blokade
permanen terhadap populasi masyarakat asli atas dasar kediktatoran rasis
(atau demokrasi).
Inilah, misalnya, yang dimaksud dengan teori asimilasi progresif
pupulasi asli, yang terbukti hanya menjadi upaya, yang sebetulnya jahat,
untuk menyangkal kebudayaan orang-orang yang bersangkutan. Kegagalan
total dari teori ini, yang dipraktikkan oleh beberapa kekuasaan
kolonial, termasuk Portugal, adalah bukti paling telanjang atas
ketidakabsahannya, dan karakter brutal (anti kemanusiaan)nya. Absurditas
pendapat ini sampai-sampai terjadi pada kasus Portugis, ketika Salazar
menegaskan bahwa Afrika itu tidak ada.
Ini juga berlaku pada apa yang disebut teori apartheid, yang
diciptakan, diterapkan dan dikembangkan atas landasan dominasi ekonomi
dan politik orang-orang di Afrika bagian selatan oleh minoritas rasis,
bersama semua kejahatan memalukan yang terjadi terhadap kemanusiaan.
Praktik apartehied mengambil bentuk eksploitasi tak terbatas atas tenaga
kerja massa orang-orang Afrika, dikurung dan direpresi dalam kam
konsentrasi terbesar dalam sejarah kemanusiaan.
Contoh praktis ini memberikan ukuran sejauh mana drama dominasi
imperialis asing ketika berhadapan dengan kenyataan budaya orang-orang
yang didominasi. Itu juga menunjukkan hubungan-hubungan yang kuat,
saling bergantung dan mengisi yang terjadi antara situasi kebudayaan
dengan situasi ekonomi (dan politik) dalam perilaku masyarakat manusia.
Pada kenyataannya, kebudayaan yang selalu berada dalam kehidupan sebuah
masyarakat (yang terbuka maupun tertutup), kurang lebih merupakan hasil
dari aktivitas ekonomi dan politik masyarakat itu; juga ekspresi dinamis
dari jenis-jenis hubungan yang berlaku di masyarakat itu, di satu sisi
antar manusia (secara individual maupun kolektif) dengan alam, dan, di
sisi lain, dikalangan individual, kelompok-kelompok individu, strata
sosial atau kelas-kelas.
Nilai kebudayaan sebagai elemen perlawanan terhadap dominasi asing
terbentang di atas kenyataan bahwa kebudayaan itu adalah manifestasi
paling kuat atas ideologi atau gagasan dari kenyataan historis dan fisik
masyarakat yang didominasi atau yang akan didominasi. Kebudayaan secara
spontan adalah buah dari sejarah manusia dan penentu sejarah, oleh
pengaruh positif atau negatif yang diterapkannya pada evolusi
hubungan-hubungan antar manusia dan lingkungannya, antar manusia atau
kelompok manusia di dalam masyarakat, serta antar masyarakat-masyarakat
yang berbeda. Pengabaian fakta ini dapat menjelaskan kegagalan beberapa
upaya dominasi asingjuga kegagalan beberapa gerakan-gerakan pembebasan
internasional.
Mari kita periksa asal usul pembebasan nasional. Kita mesti letakkan
fenomena historis ini dalam konteks kekinian, yakni, pembebasan nasional
yang melawan dominasi imperialis. Dominasi imperialis ini, seperti kita
ketahui, berbeda bentuk maupun isi dari tipe dominasi asing yang
mendahaluinya (kesukuan, aristokrasi militer, feudal, dan dominasi
kapitalis di masa era persaiangan bebas).
Karakteristik paling utama, yang lazim bagi berbagai jenis dominasi
imperialis, adalah penyingkiran proses sejarah orang-orang yang
didominasi melalui pengambilalihan paksa dengan cara kekerasan,
kerja-kerja bebas proses perkembangan kekuatan-kekuatan produktif.
Sekarang, dalam semua masyarakat dimanapun, level perkembangan tenaga
produktif dan sistem pemanfaatan sosial kekuatan-kekuatan ini (sistem
kepemilikan) menentukan moda produksi. Menurut pendapat kami, moda
produksi yang kontradiksi-kontradiksinya terwujud oleh intensitas
perjuangan kelas, adalah faktor prinsip dalam sejarah semua kelompok
manusia, level kekuatan produktif menjadi kekuatan pendorong sejati dan
permanen terhadap sejarah.
Bagi setiap masyarakat, setiap kelompok orang, yang dianggap sebagai
suatu entitas ber-evolusi, level kekuatan produktif menandakan tahap
perkembangan masyarakat dan masing-masing komponennya di dalam
hubungannya dengan alam, di dalam kapasitasnya beraksi atau bereaksi
secara sadar terhadap alam. Hal itu menandakan dan mensyaratkan tipe
hubungan-hubungan material (diekspresikan secara subjektif maupun
objektif) yang ada di berbagai kalangan atau kelompok yang mendirikan
masyarakat bersangkutan. Hubungan-hubungan dan tipe hubungan antara
manusia dengan alam, antar manusia dan lingkungannya. Hubungan-hubungan
dan tipe hubungan di kalangan individu atau komponen kolektif dari
masyarakat. Semua ini tak saja menyatakan sejarah, tetapi juga
menyatakan kebudayaan.
Apapun yang mungkin menjadi karakteristik ideologis atau idealis dari
ekspresi kebudayaan, budaya adalah suatu elemen paling penting dari
sejarah rakyat. Budaya, mungkin, adalah produk sejarah seperti halnya
bunga adalah produk dari tanaman. Seperti sejarah, atau justru karena
dialah sejarah, budaya memiliki basis materialnya pada level
kekuatan-kekuatan produktif dan moda produksi. Kebudayaan menanamkan
akarnya ke dalam realitas fisik tanah humus lingkungan dimana ia tumbuh,
dan dia merefleksikan asal usul organik masyarakat, yang lebih kurang
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Sejarah membuat kita tahu asal
usul dan sejauh mana ketimpangan dan konflik-konflik (ekonomi, politik
dan sosial) yang menjadi karakter evolusi suatu masyarakat; kebudayaan
membuat kita mengetahui dinamika sintesa yang sedang dibangun dan
didirikan oleh kesadaran sosial untuk mengatasi konflik-konflik ini di
tiap tahap evolusinya, dalam pencariannya atas keselamatan dan kemajuan.
Seperti yang terjadi dengan bunga di dalam pot, dalam kebudayaan
terdapat kapasitas (atau tanggung jawab) untuk membentuk dan menyuburkan
pembibitan yang akan memastikan keberlanjutan sejarah, di saat yang
sama memastikan prospek bagi evolusi dan kemajuan masyarakat yang
bersangkutan. Oleh karena itu bisa dimengerti bahwa dominasi imperialis
dengan menyangkal perkembangan historis masyarakat yang didominasi,
sesungguhnya juga menyangkal perkembangan kebudayaan mereka. Juga
dipahami kenapa dominasi imperialis, seperti halnya semua dominasi asing
untuk kepentingan keamanannya sendiri, menghendaki penindasan
kebudayaan, serta usaha langsung maupun tak langsung penghancuran
elemen-elemen penting kebudayaan orang-orang yang didominasi ini.
Studi sejarah perjuangan pembebasan nasional menunjukkan bahwa secara
umum perjuangan ini didahului oleh meningkatnya ekspresi kebudayaan
yang terkonsolidasi progresif ke dalam usaha, sukses maupun tidak, untuk
menegaskan identitas kebudayaan orang-orang yang didominasi, sebagai
cara melawan kebudayaan yang menindas. Apapun kondisi faktor-faktor
sosial dan politik suatu masyarakat dalam mempraktikkan dominasi ini, di
dalam kebudayaan lah secara umum kita temukan bibit-bibit perlawanan,
yang selanjutnya menstrukturkan dan membangun gerakan pembebasan.
Menurut kami, fondasi pembebasan nasional terletak pada hak mutlak
yang dimiliki setiap orang untuk memiliki sejarah mereka sendiri, apapun
formulasi yang mungkin diadopsi pada level hukum internasional. Tujuan
pembebasan nasional, oleh karena itu, adalah untuk merebut kembali hak
tersebut, yang dikuasai oleh dominasi imperialis, yakni: pembebasan
terhadap proses pengembangan kekuatan-kekuatan produktif nasional. Oleh
karena itu, pembebasan nasional terjadi ketika, dan hanya saat,
kekuatan-kekuatan produktif nasional seluruhnya bebas dari segala jenis
dominasi asing. Pembebasan kekuatan-kekuatan produktif, dan hasilnya
berupa kemampuan untuk menentukan moda produksi yang paling tepat bagi
evolusi masyarakat yang terbebaskan, mesti membuka prospek-prospek baru
bagi perkembangan budaya masyarakat yang bersangkutan, dengan
mengembalikan kepada masyarakat itu, semua kapasitasnya untuk
menciptakan kemajuan.
Rakyat yang membebaskan dirinya dari dominasi asing akan bebas secara
kultural hanya jika, mereka kembali ke jalan menanjak kebudayaan mereka
sendiri, yang disuburkan oleh kenyataan hidup di sekelilingnya, dan
yang menolak pengaruh berbahaya maupun segala macam penundukan pada
kebudayaan asing, tanpa mencampuradukkan dan meremehkan pentingnya
sumbangan positif dari penindas dan kebudayaan lain. Oleh karena itu,
bisa dibilang bahwa jika dominasi imperialis memiliki kebutuhan
mempraktikkan penindasan kultural, maka pembebasan nasional pasti
merupakan tindakan kebudayaan.
Di atas landasan itulah, kita boleh anggap pembebasan nasional
merupakan ekspresi politik terorganisir dari kebudayaan rakyat yang
melakukan perjuangan ini. Untuk alasan inilah, mereka yang memimpin
gerakan ini mesti memiliki suatu gagasan yang jelas terhadap nilai
kebudayaan dalam kerangka perjuangan, dan mesti memiliki pengetahuan
menyeluruh tentang kebudayaan masyarakat, tak peduli tingkat
perkembangan ekonomi mereka.
Di era kita ini, kita sudah terbiasa setuju bahwa semua masyarakat
memiliki kebudayaan. Era tersebut sudah berlalu ketika, dalam upaya
memenyebarkan dominasi atas suatu masyarakat, kebudayaan dianggap
embel-embel (pelengkap) saja dari masyarakat atau bangsa yang memiliki
privilese (hak istimewa); dan ketika, baik karena ketolololan maupun
kekejaman, kebudayaan dicampur aduk dengan kemampuan teknis, jika tidak
warna kulit atau bentuk bola mata seseorang. Gerakan pembebasan, sebagai
wakil dan pembela kebudayaan rakyat, mesti sadar pada fakta bahwa
apapun kondisi material masyarakat yang diwakilinya, masyarakat adalah
pencipta sekaligus pemilik kebudayaan. Gerakan kebudayaan mesti lebih
jauh lagi mewakili karakter massa, karakter popular kebudayaanyang
bukan dan tidak akan pernah berupa privilese (hak istimewa) dari satu
sektor masyarakat atau lebih.
Dalam analisis menyeluruh terkait struktur sosial, yang harus bisa
dibuat oleh setiap gerakan pembebasan dalam hubungannya dengan
kemendesakan perjuangan, karakterisitik kebudayaan setiap kelompok dalam
masyarakat memiliki tempat sangat penting. Karena, walau kebudayaan itu
memiliki karakter massal, tetapi ia tidak seragam, tidak secara merata
berkembang disemua sektor masyarakat. Sikap setiap kelompok masyarakat
terhadap perjuangan pembebasan tak saja diarahkan oleh masing-masing
kelompok sosial itu terhadap perjuangan pembebasan, yang juga diarahkan
oleh kepentingan ekonomi, namun juga sangat dipengaruhi oleh
kebudayaannya.
Bahkan harus diakui bahwa perbedaan-perbedaan di level kebudayaan ini
menjelaskan perbedaan perilaku masing-masing individu yang tergabung
dalam kelompok sosial ekonomi yang sama terhadap gerakan pembebasan.
Pada titik itulah kebudayaan menjadi sangat penting bagi setiap
individu: pemahaman dan pengintegrasian diri kedalam lingkungannya,
pengenalan persoalan-persoalan mendasar dan aspirasi pokok
masyarakatnya, penerimaan kemungkinan perubahan dalam arah kemajuan.
Dalam kondisi spesifik di negeri kitadan kami pikir seluruh
Afrikadistribusi horizontal dan vertikal tingkat kebudayaan dalam
beberapa hal cukup kompleks. Sebenarnya tingkat kualitas dan kuantitas
kebudayaan itu beragam sangat signifikan, dari kampung-kampung ke
kota-kota; dari satu kelompok etnik ke kelompok etnik lainnya; dari satu
kelompok usia ke kelompok usia lainnya; dari petani ke pekerja upahan
atau ke intelektual masyarakat asli yang sedikit banyak telah berbaur
(terasimilasi); dan, seperti yang telah disebutkan, bahkan dari individu
ke individu dalam kelompok sosial yang sama. Inilah fakta hal yang
sangat penting untuk dipertimbangkan oleh gerakan pembebasan.
Dalam masyarakat dengan struktur sosial horizontal, contohnya seperti
Balante (etnis yang ada di Guinea Bissaupent), distribusi tingkat
kebudayaan mereka kurang lebih seragam, variasinya saling-terkait unik
dengan karakteristik individu dan kelompok berbagai usia. Di sisi lain,
dalam masyarakat dengan struktur vertikal, seperti Fula (etnis di Guinea
Bissaupent), terdapat variasi penting pada piramida sosial dari atas
sampai bawah. Perbedaan dalam struktur sosial ini sekali lagi
menggambarkan kaitan erat antara kebudayaan dan ekonomi, dan juga
menjelaskan perbedaan dalam perilaku umum, atau sekotral, kedua kelompok
etnik ini dalam kaitannya dengan pergerakan pembebasan.
Memang benar bahwa keragaman kelompok-kelompok etnis dan sosial
menambah kompleks usaha untuk menentukan peran kebudayaan dalam gerakan
pembebasan. Namun sangat penting untuk tidak kehilangan visi terhadap
mendesaknya kepentingan perjuangan pembebasan, bahkan ketika kelas
sosial tampaknya masih di tahap perkembangan embrionik.
Pengalaman dominasi kolonial menunjukkan bahwa, dalam upaya
mempertahankan eksploitasi, penjajah tidak saja menciptakan sistem untuk
merepresi kehidupan kebudayaan orang-orang yang dijajah; mereka juga
membangun dan memprovokasi keterasingan kebudayaan sebagian masyarakat,
baik melalui apa yang disebut asimilasi masyarakat asli, maupun dengan
menciptakan jurang sosial antara elit masyarakat asli dengan massa
rakyatnya. Hasil dari proses pemecahbelahan atau pendalaman keterpecahan
di dalam masyarakat ini, yang terjadi adalah sebagian besar masyarakat,
khususnya borjuis kecil perkotaan atau petani, mengasimilasi mentalitas
kolonial, menganggap dirinya secara kultural superior atas rakyatnya
sendiri dan mengabaikan atau memandang rendah nilai-nilai kebudayaan
mereka sendiri. Situasi ini, yang menjadi karakteristik mayoritas
intelektual terjajah, dikonsolidasikan oleh penambahan keistimewaan
sosial kelompok terasing atau terasimilasi yang berdampak langsung pada
perilaku individu di dalam kelompok ini terhadap gerakan pembebasan.
Oleh karena itu perubahan kembali pikiranperangkat mentalterkait erat
dengan integrasi rakyat sesungguhnya ke dalam pergerakan pembebasan.
Perubahan pikiran inimisalnya bagi kami adalah re-Afrikanisasibisa
terjadi sebelum perjuangan, namun dituntaskan hanya selama perjuangan
berlangsung, melalui kontak sehari-hari dengan massa rakyat di dalam
penyatuan jiwa pengorbanan yang dibutuhkan oleh perjuangan.
Namun demikian, kita mesti mengantisipasi fakta bahwa, berhadapan
dengan kemungkinan kemerdekaan politik, ambisi dan oportunisme yang
gerakan pembebasan biasanya alami, dapat membawa individu-individu yang
belum bertransformasi masuk ke dalam perjuangan. Mereka ini, berdasarkan
tingkat pendidikannya, pengetahuan ilmiah atau teknisnya, namun tanpa
melepas semua bias-bias kelas sosial mereka, dapat memperoleh posisi
tertinggi dalam gerakan pembebasan. Oleh karena itu kewaspadaan, di
ranah kebudayaan maupun politik, adalah keharusan. Karena, dalam gerakan
pembebasan dimanapun juga, tak semua yang berkilau itu emas: pemimpin
politikbahkan yang paling terkenalpunsecara kebudayaan adalah orang
yang terasing.
Namun, karakteristik-karakteristik kelas sosial pada
kebudayaan ini bahkan lebih kentara di dalam perilaku kelompok-kelompok
yang mendapat hak istimewa di wilayah-wilayah perkampungan/pedalaman,
khususnya dalam hal ini kelompok-kelompok etnik dengan struktur sosial
yang vertikal, yang padahal, pengaruh alienasi kultural (keterasingan
budaya) atau asimilasi tidak ada atau tidak berlaku. Inilah contoh kelas
penguasa Fula. Di bawah dominasi kolonial, ototiras politik kelas ini
(kepala suku tradisional, keluarga-keluarga bangsawan, pemimpin-pemimpin
agama) hanya papan nama, dan massa rakyat tahu bahwa otoritas
sebenarnya ada pada, dan dijalankan oleh, pemerintah kolonial. Namun
demikian, kelas penguasa melindungi inti dari otoritas kebudayaan
dasarnya terhadap massa dan hal itu memiliki dampak politik yang sangat
penting.
Kolonial mengetahui realitas ini, sehingga mereka merepresi atau
menghambat aktivitas kebudayaan penting di pihak massa yang berada di
lapis paling bawah piramida sosial, dengan memperkuat dan melindungi
prestise (keistimewaan) dan pengaruh kebudayaan kelas penguasa di
lapisan teratas piramidanya. Penjajah menempatkan kepala-keapala suku
untuk mendukungnya dan, yang dalam beberapa hal, diterima oleh massa;
dia memberi para kepala suku itu keistimewaan materi seperti pendidikan
pada anak-anak tertua mereka, menciptakan hierarki kesukuan yang
sebelumnya tidak ada, membangun hubungan dekat dengan para pemimpin
agama, membangun mesjid, mengorganisir perjalanan ke Mekkah, dst. Dan
yang terpenting, melalui organ represi pemerintahan kolonial, ia
menjamin keistimewaan ekonomi dan sosial kelas penguasa dalam
hubungannya dengan massa.
Tetapi juga tidak mustahil bahwa, dikalangan
kelas-kelas penguasa ini, akan ada kelompok-kelompok atau individu yang
bergabung ke dalam gerakan pembebasan, meskipun tidak sebanyak
dibandingkan borjuis kecil yang terasimilasi. Beberapa pemimpin agama
dan pemimpin tradisional bergabung di masa-masa awal perjuangan atau
selama pembangunannya, memberi kontribusi tulus pada perjuangan
pembebasan.
Namun lagi-lagi kewaspadaan menjadi kewajiban: mereka yang memendam
prasangka-prasangka kelasnya, yakni individu-individu dalam kategori
ini, secara umum melihat bahwa gerakan pembebasan adalah satu-satunya
cara, dengan memanfaatkan pengorbanan massa, untuk menghancurkan
penindasan kolonial kelas mereka sendiri lalu dengan cara ini mendirikan
kembali dominasi total politik dan kebudayaan atas rakyat.
Dalam kerangka umum menantang dominasi imperialis kolonial dan dalam
situasi aktual yang dimaksud, diantara sekutu penindas paling loyal kita
itemukan beberapa pejabat tinggi dan intelektual dari profesi-profesi
liberal, orang-orang yang terasimilasi, dan sejumlah besar wakil-wakil
kelas penguasa dari kampung-kampung/pedalaman. Fakta ini memberi ukuran
terhadap pengaruh (positif maupun negatif) kebudayaan dan prasangka
kultural dalam hal pilihan politik ketika seseorang dikonfrontasi
gerakan pembebasan. Hal ini juga menunjukkan keterbatasan pengaruh
kebudayaan dan keunggulan faktor kelas dalam perilaku kelompok-kelompok
sosial yang berbeda. Pejabat tinggi atau intelektual yang terasimilasi,
yang benar-benar terasing secara kebudayaan, menampakkan dirinya
berposisi politik sama dengan pemimpin tradisional atau agama yang tidak
mengalami pengaruh-pengaruh kebudayaan asing.
Bagi kedua jenis kategori orang ini, pertama-tama mereka menempatkan
tuntutan atas asal usul budayaserta melawan aspirasi
rakyatkeistimewaan ekonomi dan sosial mereka sendiri, kepentingan kelas
mereka sendiri. Itulah kenyataan kebenaran yang tidak bisa diabaikan
oleh gerakan pembebasan tanpa beresiko berkhianat pada tujuan-tujuan
perjuangan ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan.
Tanpa meminimalisir kontribusi positif yang dibawa kelas-kelas yang
diistimewakan itu ke dalam perjuangan, gerakan pembebasan harus, pada
level kultural maupun politik, melandaskan aksinya pada kebudayaan
massa, seberapa pun ragamnya level kebudayaan di suatu negeri.
Pertempuran kebudayaan melawan dominasi kolonialsebagai fase pertama
gerakan pembebasandapat direncanakan secara efisien hanya atas dasar
kebudayaan di kampung-kampung dan massa pekerja perkotaan, termasuk
borjuis kecil nasionalis (revolusioner) yang telah di re-afrikanisasi
atau yang sudah siap untuk mengubah kembali kebudayaan (rekonversi
kebudayaan). Apapun kompleksitas yang mungkin terjadi atas kenyataan
kebudayaan paling dasar ini, gerakan pembebasan mesti sanggup membedakan
di dalamnya mana yang esensi (penting) mana yang nomer dua; yang
positif dari yang negatif; yang progresif dari yang reaksioner, untuk
menentukan pedoman yang memberi makna pada kebudayaan nasional secara
progresif.
Agar kebudayaan memainkan peran penting dalam kerangka gerakan
pembebasan, gerakan harus mampu melindungi nilai-nilai budaya dari
setiap kelompok sosial yang nyata, dari setiap kategori, untuk mencapai
perjumpaan dari nilai-nilai ini demi kepentingan perjuangan,
memberikannya dimensi baruyakni dimensi nasional. Diperhadapkan oleh
kebutuhan itu, perjuangan pembebasan adalah, pertama-tama, merupakan
perjuangan demi kelestarian dan keselamatan nilai-nilai budaya rakyat
sekaligus untuk harmonisasi dan pengembangan nilai-nilai budaya ini di
dalam kerangka nasional.
Catatan Kaki:
1. Eduardo Mondlane, adalah Presiden pertama Front Pembebasan Nasional Mozambik (FRELIMO). Dia dibunuh oleh agen Portugis 3 Feb. 1960
0 komentar:
Posting Komentar